Langsung ke konten utama

Inaq Andon (Cerpen)


 

Pagi yang syahdu, setitik cahaya dari langit mengetuk jendela. Titik demi titik, perlahan menghangatkan seluruh ruang kamar utama di rumah embah. Udara masih lembab, namun sinaran mentari pagi bahkan sudah memenuhi tiap inchi hati yang dilanda rasa lapar. Aku, butuh sarapan.

“Ayo bergegas! Nanti keburu ramai,” seru bibiku sembari mengenakan jilbab instannya. Kami hanya ke beberapa petak di sebelah rumah embah. Tidak jauh, tidak perlu berdandan.

“Iyaa tunggu, mau pinjam jaket kak Gadis dulu,” timpaku cepat sembari berlari kecil menuju kamar kak Gadis. Meminjam yang kumaksud adalah masuk ke kamar yang-orangnya-belum-pulang-mengaji-pagi kemudian asal mencomot jaket di gantungan belakang pintu. “Kak Gadis pinjem ya! Pake aja dek, okesip makasi!” Ujarku berbicara pada diri sendiri.

Seperti pagiku yang sebelum-sebelumnya di rumah embah, rutinitas di akhir pekan selalu seperti ini. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak aku masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal dengan terperinci, rutinitas membeli sarapan bersama bibi dan embah, pun  ‘meminjam’ jaket kak Gadis adalah yang tak pernah berubah. Tetap menjadi favoritku.

Hari ini akan aku nikmati seutuhnya. Hari-hari terakhirku di masa SMA. Mungkin tahun depan tidak ada rutinitas seperti ini lagi. Aku berencana melanjutkan studi di pulau seberang yang telah lama aku impikan. Artinya, meninggalkan kampung halaman, meninggalkan bibi, embah, kak Gadis, dan sesosok yang akan aku ceritakan selanjutnya… inaq Andon.

***

Desa Ijobalit adalah kampung halaman tempat masa kecilku terbentuk. Memanjat pohon, mandi di sungai, menggembala kambing, memecah batu apung, hingga berendam di pesisir pantai. Hal-hal yang tidak bisa kulakukan di rumah. Aku adalah anak pertama dari 4 bersaudara, tak banyak waktu yang kupunya untuk bermain di rumah lagi. Sejak adik-adik kembarku lahir, mama sering menitipkanku di rumah embah. Tak masalah, aku malah senang. Sarapan pagi dengan serabi santan, pencok kuah kuning, urap-urap tupat, lupis, ah surga dunia!

Ada seorang inaq (ibu dalam bahasa sasak) yang cukup fenomenal di Ijobalit. Sedari subuh asap dari gubuknya sudah mengepul. Dialah Inaq Andon, primadona di tiap pagi. Seseorang yang selalu dicari ketika waktu sarapan datang. Belum pernah kutemukan pedagang serabi sehebat inaq Andon. Jika Naruto punya kekuatan seribu bayangan, Inaq Andon punya jurus seribu tangan. Bagaimana tidak? Semua dia lakukan sendiri! Senyum beliau yang selalu merekah, hapal nama pelanggan dari usia termuda hingga tertua. Siapa yang tak kenal Inaq Andon di Ijobalit? Kurasa tak ada. Dia benar-benar seperti maskot yang dicintai.

Lidahku ini, mengenal cita rasa serabi kali pertama dari olahan tangan inaq Andon, begitu pula lupis, pencok kuah kuning, dan urap-urap tupatnya. Susah sekali menemukan yang lebih baik jika standar pertama yang terbentuknya dari inaq Andon. Racikannya sudah menjadi top of taste di lidahku dan keluarga, bahkan mungkin sekampung. Aku sadar, aku pasti sangat rindu pada inaq Andon. Tak bisa kubayangkan sarapan di waktu akhir pekanku sejak lama, berubah tak lagi sama. Tak lagi dengan inaq Andon dan olahan tangannya.

Inaq, bulan depan aku ke Jogja. Mau lanjut kuliah,” ujarku begitu tiba di gubuk inaq Andon. Gubuknya begitu sederhana, atapnya dari daun kelapa yang sudah mengering. Kadang ia gunakan daun di atap itu untuk bahan bakar tungkunya. Sungguh praktis.

“Wah, ndak terasa kamu sudah besar ya, Ta. Sudah mau kuliah, dulu masih di gendong embah kalo ke sini,” inaq Andon menoleh padaku, berbicara sembari membersihkan tiap lubang serabi dari taburan parutan kelapa yang mulai menggelap warnanya. Inaq Andon membuat kuasnya sendiri dari serabut kelapa, kuas itu sebelumnya sudah dilumurinya dengan minyak kelapa yang tentu ia buat sendiri juga secara tradisional. Oh, mungkinkah ini rahasia di balik cita rasa mengagumkan itu? Siapa yang tau?

“Hahaha iya, sedari kecil sarapan Minggu ke sini. Bulan depan ndak lagi. Bisa bawa serabi ke Jogja ndak ya inaq?” Aku mulai berandai-andai. Tapi aku memang sungguh yakin akan rindu.

“Wah enaknya dimakan waktu hangat aja, Ta. Gak papa, nanti kan lebaran pulang lagi. Inaq Andon jualan kok, insyaAllah doakan sehat terus ya.” Sekarang adonan serabi meluncur di tiap lubang, di atas tungku tanah liat yang sudah bersih dan panas. CESSSS suara desisannya diikuti asap menggulung di atas adonan. Serabi ditutup, kini beliau mendorong-dorong kayu bakar di bawah tungku. Sesekali diselipkannya daun kelapa yang sudah kering tadi, untuk memancing api katanya.

Teman-teman yang lain mulai berdatangan, inaq-inaq yang sedari pasar juga tak lupa mampir ke gubuk inaq Andon. Muda, remaja, tua, semua ada. Mengobrol, bertukar informasi, tertawa bersama. Pagi yang dingin, kini terasa hangat. Entah hangatnya datang dari tungku inaq Andon yang mengepul, atau hangat karena perbincangan pagi dengan tetangga dengan muka-muka bantal tapi toh kami tak peduli.

Dalam hitungan menit, serabi santan, urap-urap tupat, lupis, dan pencok kuah kuning pesananku selesai dibungkus. Asapnya masih mengepul. Benar kata inaq Andon, memang paling nikmat disantap selagi hangat. Aku tidak sabar sampai rumah dan menghabiskan semuanya.

“Makasih Inaq Andon!” Seruku.

“Eh tunggu, ini ada tambahan buat Dita. Ambil aja, besok kalo sudah di Jogja kan ndak bisa makan ini lagi.” Beliau menyodorkan 4 potong serabi santan favoritku dalam balutan daun pisang.

“Wah makasi inaaaq, yeay dapat bonus serabi! Hahaha!” Aku sangat bahagia. Begitulah inaq Andon. Tidak pernah merasa rugi memberikan dagangannya secara cuma-cuma. Pernah juga aku datang kesiangan dan harus mengantri lama, sedang cacing dalam perutku sudah meronta minta sebongkah serabi. Aku duduk sembari memegangi perut. Inaq Andon menyodorkan sebuah serabi padaku, “nih buat janggal perut, sabar antri dulu ya Ta.” Senyumnya itu, tidak bisa kulupa. Tulus, lebar hingga matanya menyipit. Aku pasti sangat beruntung.

***

Rasa rindu dapat berwujud banyak. Tempat, momen, seseorang, bahkan cita rasa masakan. Setidaknya itu wujud rindu yang kutahu ketika mengingat inaq Andon. Hari-hari di tempat rantauan sungguh melelahkan. Menjadi mahasiswa ternyata tidak semenyenangkan menjadi murid SMA. Terlalu banyak hal yang harus dipikirkan sendiri. Terkadang, aku ingin bermanja-manja saja rasanya. Ingin makan makanan yang enak di akhir pekan dengan orang-orang tersayang.

Pernah kucoba mencari serabi di tanah Yogyakarta. Sesuai dugaan, tidak ada yang sesuai ekspektasiku. Sebenarnya akupun tak berharap banyak, tidak berharap menemukan yang sama persis seperti olahan inaq Andon. Tapi kalau boleh berharap, setidaknya aku ingin yang sedikiitt saja mendekati rasanya. Hanya untuk membasuh sedikit rindu.

Pernah kucari ke Solo yang katanya kota juara serabi. Mohon maaf, mungkin warga Solo harus mengenal Inaq Andon dulu. Hehe. Ketika ke Bandung bersama teman-teman, kusempatkan mampir ke warung serabi yang katanya terbaik dan enak juga di sana. Lagi-lagi, bukan selera yang sesuai dengan lidahku. Fiuh.

Susah memang kalo standar awalnya serabi inaq Andon. Oh atau mungkin seleraku yang terlalu tradisional? Aku lebih suka serabi yang dimasak menggukanan tungku tanah liat dan kayu bakar. Dengan santan di bagian atas, lembut, dan sedikit berkerak di bagian bawah. Serabi-serabi yang kutemui sudah sangatlah modern. Dimasak dengan tungku besar, ada taburan meses, bahkan cokelat berbagai varian di atasnya. Menarik di mata, tapi lidahku masih menjuarai serabi inaq Andon saja.

***

Tiap mudik lebaran, kusempatkan ke tempat inaq Andon. Kadang liburku tak banyak, hanya bisa berjumpa sekali. Tapi tak apa tetap harus disyukuri.

Kalian tahu rasanya rindu yang bertumpuk lenyap hanya dalam hitungan detik? Itu melegakan sekali. Menabung rindu akan selalu kulakukan, untuk kemudian kubayar lunas di akhir pekan tiap liburan. Tidak bertemu setiap pekan sepanjang tahun tak masalah lagi, sekali bertemu kucurahkan semua hingga habis tak tersisa lagi.

Pernah di akhir perkuliahan aku mudik hanya sebentar. Sangat sebentar, tidak sampai bertemu akhir pekan. Rasanya sudah pasrah saja tidak bisa bertemu kali ini. Tapi kak Gadis datang di malam sebelum keberangkatanku esok pagi. Membawa bungkusan bumbu urap-urap siap pakai dari inaq Andon.

“Ini bumbu urap-urap dari inaq Andon, bekukan di freezer. Sisihkan di chiller sedikit aja kalau mau dipakai.” Aku melongo beberapa detik, kemudian tersadar memeluk erat sepupuku yang pengertian ini. Alhamdulillah!

***

Hingga tiba waktunya, di tengah hiruk pikuk kota Yoyakarta. Sebuah pesan datang meremukkan hati ini.

Inaq Andon berpulang subuh tadi.”

Aku diam sejenak. Berusaha mencerna arti dari pesan yang kubaca di grup whatsup keluarga. Kubaca berulang-ulang. Tulisannya masih sama. Tak lama berselang, berita itu sukses mencuri perhatian anggota keluarga lainnya, semua bersedih. Mungkin menangis di tempat lain. Rasanya seperti mimpi buruk.

Lamat-lamat kurenungkan, kepergian inaq Andon rupanya meninggalkan ruang kosong di dalam hati. Sebuah ruang yang hanya dimiliki satu penghuni, tidak bisa diganti dengan penghuni yang lain. Sekalipun waktu akan bergulir dan orang-orang baru datang silih berganti, ruang kosong tetaplah ruang kosong. Dia masih terasa di sela-sela hati yang penuh rasa cinta, rindu, gelisah, bahkan nestapa. Andai penghuni ruang kosong itu bisa membaca pesan yang kutuliskan ini, ingin sekali aku sampaikan rasa terimakasih padanya.

Terimakasih telah mewarnai masa kecilku. Menjadi bagian yang paling kusukai setiap pagi ketika berlibur  di rumah embah. Aku suka hari-hari bergandengan tangan dengan embah & bibi ketika menuju gubukmu. Hari-hari kita menunggu serabi matang, kepedasan memakan urap-urap tupat lalu berebut air minum dingin, kemudian berbaring di teras dengan tikar karena kekenyangan.

Jika tidak ada dirimu melengkapi cerita ini, aku tidak yakin bisa menjalani semua dengan begitu menyenangkan. Kita memang tidak pernah menyadari betapa penting kehadiran seseorang hingga akhirnya mereka tidak ada.  Sekeras apapun aku ingin kau tetap hidup, aku tau itu mustahil karena mungkin suatu hari nanti aku juga akan pergi. Embahku akan pergi, bibiku akan pergi, semua yang kucintai bergantian pergi. Maka, tenanglah di sana. Kupastikan namamu akan tetap hidup, sebagai rumah bagi hati yang rindu, sebagai kenangan masa kecil anak-anak yang tangguh, serta sebagai juru masak hebat dalam sebongkah serabi.

    --------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Tentang Penulis

Zulfin Hariani adalah seorang Wanita yang lahir 28 tahun lalu. Berasal dari Lombok, berkuliah di Yogyakarta dan menemukan tambatan hatinya di sana. Kini telah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan berusia 2 tahun. Menetap di Yogyakarya membuatnya kerap merindukan kampung halaman. Tulisan-tulisannya kini sering bertemakan kerinduan atas kampung halaman dan seputar dunia pernikahan. Hobi menulis dilakoni sejak di bangku sekolah dasar. Dan diharap terus dijalankan hingga usia membawanya menua bersama tulisan.


                                

Komentar