Langsung ke konten utama

Postingan

Buah Kapas

Di tengah rasa kekesalanku yang kian memuncak. Sejujurnya, sering terbesit di kepala, “apa sebenarnya, aku yang memulai kekacauan ini?”, “Apa mungkin, yang paling patut disalahkan itu adalah aku?” Aku tidak tahu mengapa, masih saja gagal untuk menjadi egois sampai akhir. Di sela-sela rasa marah dan dendam yang aku tumpuk-tumpuk, aku menangis terisak-isak. Terus membodohi diri. Mengapa aku begitu lemah? Di tengah renungan panjangku, aku mulai percaya bahwa bisa saja aku yang salah. Namun, mengapa rasanya seperti ini akan terus berulang? Tidak akan berubah, hanya akan terus aku yang salah. Mengapa hanya aku yang akan terus merasa bersalah? Tidak bisakah aku memiliki kebenaran walau hanya 1% saja? Belakangan ini, aku sering merasa tidak mengenali diriku. Mengapa aku di sini? Untuk apa aku sebenarnya di sini? Aku merasa seperti kapas yang gugur dari buahnya, pohonku ditempa angin yang maha dahsyat. Tapi aku tidak bisa menyentuh tanah. Terombang-ambing, menyangkut pada dahan-d...

Rindu Diriku

  Sepasang mata melihatku lekat-lekat Tak berkedip, tak berpaling Ia mencari segaris senyuman Yang hilang entah sejak kapan   Sepasang mata yang melihatku lekat-lekat Mulai memahami arti pantulan cermin Pelan-pelan ia terjemahkan Bisikan rindu yang sejak lama terpendam   Aku rindu diriku yang dulu Yang muda dan berani Yang ceria dan ambisius Yang hanya mengandalkan diri sendiri   Aku rindu diriku yang dulu Apabila gundah berlari menyusuri pantai Apabila lelah pulang rebahan ke rumah Apabila sakit hanya ingin bermanja-manja   Ke mana mimpi-mimpi besar yang buat tak nyenyak tidurku dulu? Ke mana energi yang mampu buat kakiku berjalan sejauh itu dulu? Ke mana kepercayaan diri yang kata orang terpancar dalam senyumku dulu? Aku bertanya-tanya, ke mana diriku yang dulu?   Harus kutemukan, akan kuhadirkan Jiwa yang ada pada diriku dahulu         Yogyakarta, 11/10/2024

Aku Peduli

  Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan. Apa yang membuat hatimu resah, pertanyaan-pertanyaan apa yang terus kau tanyakan pada diri sendiri, hingga pertimbangan-pertimbangan apa yang mengulur waktu putusanmu. Aku ingin mendengar suara kekhawatiran yang kamu sembunyikan. Apa keraguan yang beratkan langkahmu, ketakutan-ketakutan apa yang berusaha kamu halau pun kendalikan sendirian. Aku ingin mengerti apa yang kamu rasakan. Bagaimana perasaanmu ketika lebih memilih bungkam, menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk kecil seolah kau.. memang sekuat itu. Aku ingin ada di sana. Menemanimu ketika dunia terasa sepi, namun gaduh dalam otakmu tak mau berhenti. Aku ingin menemanimu, hanya duduk diam di dekatmu. Janji tidak akan mengusik, tidak akan berisik. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa kamu tidak sendirian. Aku selalu peduli padamu.   ..jika kamu ingin coba membuka kata, kamu tahu aku ada di mana, kamu tahu menghubungiku bagaimana         ...

Dejavu?

  Here you are, again. Dejavu? Please, jangan mengulangi kesalahan yang sama. Terlalu lama berpikir, menimbang, ragu-ragu tak karuan. Please, kali ini coba untuk lebih berani . Improve yourself . Kalau ragu, coba kurangi keraguan itu dengan mencari tahu. Bertanyalah, buka suaramu. Jangan takut dijudge , kalau pun akan dijudge ya terima saja, oke? Demi titik terang yang lebih baik. Toh kamu pernah lewati judgmental lainnya dan sekarang baik-baik saja kan? Aku berupaya menulis ini berharap kamu secepatnya sadar. Ayo! Fokus! Jangan kebanyakan alasan terus. Kamu hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri. Harus mulai dari kamunya dulu. kamu bisa kok, cicil pelan-pelan. Mulai dari yang kamu tau bagaimana cara mengerjakannya. Nanti, pelan-pelan, semuanya akan terlewati kok. Bukannya tidak sulit, tapi percaya saja tidak akan sesulit yang kamu khawatirkan itu. Ingat apa yang telah kamu rencanankan jika berhasil melewati tahap ini? bukan kah kamu sudah tidak sabar untuk mewujudkan itu semua?...

Kalau Tidak Tahu, Ya Cari Tahu

Kalau tidak tahu, ya cari tahu. Jangan tunggu dikasitahu dulu. Kalau terus-terusan begitu, ya capek. Ngasitahu duluan mulu itu, melelahkan. Kalau memang ingin tahu, sungguhan peduli, ya pasti ada inisiatif untuk cari tahu kan ya? Apa coba yang ditakutkan? Takut ditolak mah alasan yang cemen, yakali ga coba lagi? Kalau satu cara tak mempan, coba 1001 cara lainnyalah. Pesimis amat. Kalau alasan lainnya karena sungkan, ya mau sampai kapan sungkan terus? Sungkan kok ndak selesai-selesai. Oh atau mungkin takut dijudge? Yhaa tinggal dihadapi aja ga sih, sekalian dikonfirmasi. Ini baru dijudge manusia, kek mana Tuhan nanti yakan? “Ah, paling juga ntar cerita sendiri” Ya iya, tapi keburu basi. Moment ketika kamu di sana, hadir, merespon dengan sigap. Adalah hal-hal yang luar biasa tiada tara. Dia jadi merasa tidak sendirian-sendirian amat. Tidak merasa bahwa orang yang selama ini di dekatnya, ya memang tidak sejauh itu. Hanya karena kamu pernah diterjemahkan rasa kesalnya, sedihnya, bi...

Allah Selalu On Time

Sudah lama aku tidak merefleksikan diri seperti ini. Menggunakan akal, pikiran, dan perasaanku untuk menerjemahkan lagi apa inginnya . Apa harapnya, sudah sampai mana progresnya . Terlalu banyak pertanyaan yang entah jawabannya  benar-benar ingin kuketahui atau ya sudah cukup melegakan hanya dengan mempertanyakannya saja. Karena dengan begitu, aku tahu bahwa masih mampu menyadari ada yang salah. Aku masih punya ‘perasaan’ untuk dapat menerjemahkan kebingungan. Sejauh ini, ternyata hidup tidak selalu seru. Aku sadar, bahwa aku tidak seistimewa itu . Aku hanyalah manusia biasa yang hidup di dunia biasa, di mana orang lain juga memiliki hidupnya, perasaannya, pikirannya, dan segala hal yang tidak perlu digembar-gemborkan. Toh dunia akan tetap berjalan. Hari ini, nanti, dan seterusnya. Tidak peduli jika aku ada, tidak ada, sedang apa, dan menjadi siapa. Benar, ternyata aku tidak sepenting itu. Tidak seperti pikirku di masa lalu yang mengira akan ada hal ‘besar’ atau apapun itu yang...

Inaq Andon (Cerpen)

  Pagi yang syahdu, setitik cahaya dari langit mengetuk jendela. Titik demi titik, perlahan menghangatkan seluruh ruang kamar utama di rumah embah. Udara masih lembab, namun sinaran mentari pagi bahkan sudah memenuhi tiap inchi hati yang dilanda rasa lapar. Aku, butuh sarapan. “Ayo bergegas! Nanti keburu ramai,” seru bibiku sembari mengenakan jilbab instan nya. Kami hanya ke beberapa petak di sebelah rumah embah. Tidak jauh, tidak perlu berdandan. “Iyaa tunggu, mau pinjam jaket kak Gadis dulu,” timpaku cepat sembari berlari kecil menuju kamar kak Gadis. Meminjam yang kumaksud adalah masuk ke kamar yang-orangnya-belum-pulang-mengaji-pagi kemudian asal mencomot jaket di gantungan belakang pintu. “Kak Gadis pinjem ya! Pake aja dek, okesip makasi!” Ujarku berbicara pada diri sendiri. Seperti pagiku yang sebelum-sebelumnya di rumah embah, rutinitas di akhir pekan selalu seperti ini. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak aku masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal dengan ter...